WELCOME TO MY SITE "http://suarmanwarasi.blogspot.com My Facebook Account : Declan Suarman Alffa"http://suarmanwarasi.blogspot.com

Welcome To My Blog

Welcome To My Blog = http://suarmanwarasi.blogspot.com Terimakasih Atas Kunjungan Anda HP:(0877 9385 3838) SEBELUM MENULIS, BELAJARLAH BERPIKIR DAHULU(Boileau)

Teks Berjalan Zig-Zag

WELCOME TO MY WEBSITE : http://suarmanwarasi.blogspot.com,(Contact Person) University STMIK - AMIK INTeL Com GLOBAL INDO Kisaran

Jumat, 30 Agustus 2013

Sebuah Perjalanan di Hari Ulang Tahun (Cerita Motivasi) Wajib Baca Yeah..


Diambil dari buku 100% Motivated karya Louis Sastrawijaya

Kisah ini menceritakan seorang tokoh, Similikiti yang merayakan hari ulang tahun yang ke-33 di jalan Salemba Raya, Jakarta. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang dirayakan dengan bersantap malam menikmati lezatnya masakan, ia ingin agar tahun ini menjadi istimewa dengan merayakannya bersama dengan sesama yang kesepian, miskin, terbuang, dan menderita.

Ketika Similikiti berjalan dengan bersemangat, tiba-tiba ia melihat angkutan sampah yang sedang ditarik oleh seorang petugas dengan sangat perlahan. “Mungkin terlalu berat, apalagi harus ditarik pada jalan yang menanjak,” pikirnya. “Ayo Pak, biar saya bantu!” kata Similikiti kepada petugas sampah yang berusia sekitar 40 tahun itu.

Awalnya, Pak Adi, demikian ia dipanggil, menolak dan merasa tidak enak karena merepotkan orang lain. Namun karena bujukan Similikiti, akhirnya mereka berdua menarik angkutan sampah tersebut menuju pasar burung sambil berbincang-bincang. Setelah berjalan ratusan meter, bapak beranak dua yang tinggal di Bogor itu sambil menyeka keringat yang mengguyur sekujur tubuhnya, berkata, “Terima kasih banyak udah ditemenin… Juga terima kasih buat nasi bungkusnya…”

“Sama-sama, Pak,” ujar Similikiti. Di benaknya meluncur pikirannya, “Wah, sekian ratus meter menarik angkutan sampah berdua saja sdah membuat tanganku pegal-pegal. Apalagi dia sendirian tiap hari…”

Beberapa meter berikutnya, ia mendapati seorang gelandangan yang sedang tiduran tepat di ujung sebuah ruas jalan. “Wuih, kira-kira berapa lama orang ini tidak mandi?” gumamnya.

Kebimbangan mulai menyelimuti hatinya. Ia ingin menyapa dan memberikan nasi bungkus dengan lauk telur, tempe, dan sayur, tetapi sekaligus juga takut dibentak, dipukul, atau bahkan dipeluk oleh tubuh kotor gelandangan itu. “Ayo Similikiti, kamu harus berani. Justru orang seperti inilah yang butuh disapa,” katanya kepada diri sendiri.


“Pagi Pak. Udah makan? Saya punya nasi bungkus dan air teh. Mau Pak?” Tanya Similikiti kepada gelandangan itu.

Raut muka gelandangan itu berubah. Dia tersenyum, tidak berkata apa-apa, namun mengangguk-anggukan kepala sambil menunjuk kearah aspal.

“Saya taruh di sini saja, nanti dimakan ya Pak” ujar Similikiti seraya berjalan pergi.

Tidak jauh dari sana, ia bertemu seorang kakek berusia sekitar 70 tahun sedang membersihkan jalanan dengan sapu lidinya. Ketika ditawari nasi bungkus, kakek yang bernama Soleh ini berujar, “Terima kasih. Saya memang belum makan. Kadang gaji saya tidak cukup untuk menghidupi diri saya sendiri.”

Masih ditempat yang sama, Iyem seorang ibu berusia sekitar 50 tahun sambil tergopoh-gopoh membawa kardus bekas hasil perjalanannya dari subuh juga menerima nasi bungkus. “Terima kasih, belum… saya belum makan, “katanya lirih.

Ketika berniat untuk mengakhiri perjalanannya, Similikiti bertemu seorang pemulung muda, berusia sekitar 30 tahun. “Pagi Pak, udah dapet banyak nih?” kata Similikiti sambil menunjuk keranjang di belakang punggung si pemulung.

“Eh, saya pikir siapa… iya, saya lagi cari kertas putih polos yang kayak gini. Soalnya kalo dijual lebih mahal daripada kertas Koran,” ujar pemulung yang setiap hari bekerja 12 jam dari pukul 5.00 sampai pukul 17.00 itu. “Tapi gak apa-apa, saya setiap harinya dapat sekitar 20 sampai 30 ribu. Lumayan buat istri yang tinggal di gubuk dan dua anak saya di Bogor. Bberapa hari lalu saat pulang ke Bogor, saya kasih mereka uang Rp. 400.000,- dan mereka seneng banget,”katanya dengan bangga.

Setelah sekitar dua jam berjalan kaki mengelilingi kawasan Matraman, akhirnya Similikiti duduk kecapaian dan sejenak menghilangkan dahaga dengan minum the botol. Tiba-tiba ia melihat seorang bapak berusia sekitar 50 tahun, bernama Samijan, sedang mengayuh sepeda rakitannya dengan kedua tangannya. Obrolan dan senyuman Pak Samijan dirasakan oleh Similikiti sebagai suatu hiburan yang menguatkan.
Similikiti yang pada hari itu memang sengaja tidak menggunakan kendaraan pribadinya kembali berjalan hingga akhirnya bertemu dengan seorang bapak berambut putih yang sedang menemani putrinya karena dirawat di sebuah rumah sakit. Pembicaraan singkat Similikiti dengan bapak itu membuat Similikiti terharu. Anak sulung dari bapak itu menderita sakit yang memaksanya berhenti sekolah tiga tahun yang lalu. Lebih paah lagi, akibat memikirkan anak yang amat dicintai, bapak itu malah terkena penyakit stroke yang mengakibatkan ia tidak boleh bekerja lagi oleh dokter. “Istri saya juga sudah tidak bisa bekerja. Akibatnya, sekarang hidup kami hanya bergantung pada sebuah lembaga sosial,” katanya.

Sambil merenungkan peristiwa-peristiwa yang dijumpai pada ulang tahunnya itu, Similikiti menyempatkan diri untuk memperpanjang KTP di kelurahan yang terletak di dekat rumahnya. “Maaf Pak, perpanjangan ini harus disertai Kartu Keluarga,” ujar petugas kelurahan.

Similikiti yang memang tidak mempersiapkan data tersebut merasa kaget dan kecea karena langsung berpikir bahwa ia harus minta zin kantor untuk kembali mengurus perpanjangan KTP-nya. “Wah, sekarang saya lupa bawa Pak. Mungkin beberapa hari lagi saya akan kembali lagi,” ujar Similikiti lemas.

Pada siang bolong yang panas itu, Similikiti berpikir ke mana lagi ia akan menghabiskan waktu. Tiba-tiba ada ide yang terlintas di benaknya, “Hem, aku ke panti jompo saja!”

Panti jompo yang dipilih Similikiti untuk dikunjungi berada di ujung kota Jakarta. Jauhnya tempat perawatan manula yang berjumlah hampir 100 orang ini membuat kurang banyak perhatian dan sumbangan yang diberikan. “Wah, perjuangan di sini berat banget nih…,” pikir Similikiti ketika harus berbincang dengan seorang ibu tua yang sangat bau. Tentunya ia berusaha keras agar ibu tua itu tidak mengetahui apa yang ada di benaknya. Setelah berbincang-bincang dengan beberapa orang disana, Similikiti terenyak oleh sebuah pemandangan yang amat menggetarkan hatinya.

Ia tertegun dan tak bisa berkata-kata ketika melihat seorang ibu tua yang sangat kurus hingga tampak tulang sedang terbaring di tempat tidur. Tubuhnya hanya dibalut dengan sebuah sarung tipis dan sangat banyak lalat yang mengerubungnya. “Tuhan, bagaimana bisa Engkau membiarkan seorang manusia dalam keadaan seperti ini?” protes Similikiti. “Lalu apa yang dapat saya lakukan untuk ibu tua yang hanya dapat tergeletak berteman penyakit ini?” teriak hati nuraninya.

“Ibu itu memang udah gak bisa apa-apa. Ya udah, kita juga bisa apa, dokter saja udah nyerah. Paling tiap pagi kita mandiin,” jelas petugas di sana.

Akhirnya Similikiti pamit dari panti jompo itu dan langsung meluncur pulang ke rumahnya. Dalam perjalanan, hatinya tercabik-cabik karena pada hari itu ia melihat banyak peristiwa yang menyedihkan dan mengharukan hatinya. Setiba di rumah. Similikiti merenungkan semua yang dilihat, didengar, dan dirasakan pada hari ulang tahunnya itu. Dia bersyukur karena masih diberi kehidupan yang baik, juga keluarganya. Ia berdoa untuk mereka yang dijumpai pada hari itu. Saat itu, ia ikut merasa pahit dan getirnya pengalaman orang-orang yang kesepian, miskin, terbuang, dan menderita. Similikiti menangis dan berkata pada diri sendiri: Pada hari ulang tahunku yang terindah ini, aku bertekad untuk menjadi orang yang berguna bagi keluarga dan masyarakat!

Semoga Bermanfaat 

Sumber :